Wednesday, February 9, 2011

Memilih Pasangan Hidup

Sejalan dengan kedudukan pernikahan yang sentral, maka pemilihan pasangan hidup menjadi sangat menentukan dalam proses kehidupan manusia, karena bertumbuhkembangnya suatu keluarga mulai ditentukan oleh pemilihan pasangan hidup.

1.     Proses Pemilihan
Proses pemilihan pasangan hidup berarti penelusuran langkah-langkah kegiatan yang ditempuh manusia untuk menemukan dan menentukan pilihan atas seseorang yang sepadan sebagai pasangan hidup. Proses menentukan pasangan hidup bisa dipengaruhi oleh berbagai variabel penentu, antara lain orang tua yang merasa berhak penuh untuk memilihkan pasangan hidup bagi anaknya. Pada hakikatnya rasa berhak ini tumbuh dari dorongan untuk mempertahankan kekayaan dan status sosial dengan meremehkan kasih yang menjadi dasar bagi ikatan pernikahan. Kecenderungan orang tua untuk menentukan pasangan hidup bagi anaknya berbanding lurus dengan kekayaan dan status sosial.
Dalam keadaan wajar di mana pilihan pasangan hidup ditentukan secara personal, ada beberapa proses alamiah yang biasanya dialami, yaitu:
A.      Penginderaan
Penginderaan adalah salah satu proses pengamatan manusia terhadap lingkungan sekitar dengan menggunakan alat-alat indera, untuk mendapatkan perserpsi tentang lingkungan itu. Salah satu unsur kejiwaan yang turut menentukan persepsi adalah berbagai naluri dan dorongan yang berpusat di bawah ambang kesadaran mausia. Salah satu naluri adalah dorongan untuk melanjutkan keturunan.
Naluri itulah yang menggerakkan manusia untuk mencari pasangan hidup. Inilah tingkat awal dari proses pemilihan pasangan hidup secara bebas. Namun dorongan yang berasal dari bawah ambang kesadaran tidak berkemampuan memilih yang baik. Kesadaranlah yang memberikan arah kepada dorongan itu karena kesadaran dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
B.      Ketertarikan
Ketertarikan berhubungan dengan penampilan dan dapat dipilah menjadi: ketertarikan naluriah, terjadi akibat pertumbuhan alamiah dan bersifat jasmaniah karena lebih terfokus pada penampilan fisik yang sehat dari lawan jenis. Ketertarikan naluriah adalah sesuatu yang wajar mengingat pemilihan pasangan akan bermuara pada pelanjutan keturunan yang sehat dan berkualitas untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensi manusia di bumi.
Jenis ketertarikan yang lain adalah ketertarikan rasional, yaitu yang berhubungan dengan daya tarik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis. Pertimbangan-pertimbangan ini berpusat pada kualitas pribadi, lebih bersifat psikologis dan dapat dipelajari melalui sikap dan tingkah laku serta karakter lawan jenis.
C.      Pendekatan
Hasil penginderaan dan pilihan berdasarkan ketertarikan hanya berarti jika disusul dengan langkah-langkah pendekatan, yang meliputi tahap-tahap: perkenalan sebagai langkah pertama dalam proses dialog dengan orang yang berkemungkinan menjadi calon pasangan hidup. Tahap berikutnya adalah pertemanan/persahabatan yang dinyatakan dalam bentuk kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, bahkan saling menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi dan saling memperhatikan.
Tahap yang paling mendekati pernikahan adalah pertunangan, yaitu tahap di mana telah adanya kesepakatan bersama antara dua orang untuk memasuki pernikahan yang kemudian disetujui oleh keluarga atau orang tua. Pada tahap ini terjadi pendewasaan yang meliputi upaya untuk mengembangkan rasa tanggung jawab baik perorangan maupun bersama-sama
2.     Prinsip Kesepadanan
Menikah adalah hak asasi seorang manusia. Jikalau seorang yakin akan panggilannya atau karena sesuatu hal tidak ingin atau tidak bisa menikah itu adalah pilihan yang tidak salah. Sebelum menikah, seseorang harus memastikan apakah pasangannya sudah memenuhi syarat dan mampu untuk menjadi suami/istri dan orang tua yang baik bagi anak-anak yang kelak lahir dalam keluarga.
A.      Seiman Kepada Yesus Kristus
Dalam buku yang berjudul “Tujuh Pilar Pernikahan”, Jaliaman Sinaga mengungkapkan, “Pernikahan yang bahagia didasari oleh falsafah hidup yang sama. Falsafah hidup yang sama didasari oleh iman yang sama.” Pendapat ini selaras dengan 2 Korintus 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya… bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
Menikah dengan pasangan yang tidak seiman merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar pernikahan yang ditetapkan Tuhan, antara lain prinsip kesepadanan. Antara orang beriman dan orang yang tidak percaya tidak mempunyai kesamaan rohani. Tidak mungkin dua orang yang mencintai dua hal yang bertentangan dapat tetap merupakan kesatuan yang erat, satu daging.
Memilih pasangan yang bukan orang percaya untuk membangun pernikahan memiliki konsekwensi negatif  bagi orang beriman, yaitu dapat membahayakan imannya sendiri dan penerusan imannya kepada anak-anaknya (Mal. 2:15).
B.      Kedewasaan Berpikir (Intelektualitas)
Komunikasi merupakan salah satu kunci penting dalam pernikahan. Komunikasi yang baik akan terjalin bila pihak-pihak yang berkomunikasi memiliki pola pikir dan tingkat pemahaman serta wawasan yang setara. Kesenjangan pola pikir dan wawasan yang terlalu besar dapat menimbulkan kemacetan dalam berkomunikasi dan berpeluang menimbulkan pertentangan karena kesalahpahaman.
Untuk mengindari terjadinya kesalahpahaman yang bisa berakibat pada ketidakharmonisan keluarga, bahkan membuka peluang untuk terjadinya perceraian maka pasangan yang akan menikah harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat perbedaan jenjang pendidikan dan kemampuan berpikir dari pasangannya.
C.      Latar Belakang Budaya
Tradisi budaya seseorang tidak boleh bertolak belakang dengan tradisi budaya pasangannya karena akan menghambat pembentukan keluarga yang harmonis secara optimal dan berpotensi menciptakan konflik keluarga. Misalkan seorang suami berlatar belakang budaya patrelineal, yaitu sistem kekeluargaan di mana garis keturunan dan kekuasaan keluarga di pegang oleh laki-laki sedangkan istri berlatar belakang budaya matrelineal, yaitu sistem kekeluargaan di mana garis keturunan dan kekuasaan keluarga ada di tangan perempuan. Jika tidak ada kesepakatan bersama maka penentuan status kepala keluarga akan pasti menimbulkan masalah.
D.      Ekonomi/Status Sosial  
Sekalipun Alkitab mengajarkan untuk tidak membedakan orang berdasarkan status sosial tetapi tidak jarang dalam aplikasi khususnya sehubungan dengan pernikahan, hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Pihak yang berasal dari status sosial yan dianggap lebih rendah atau golongan ekonomi yang lebih lemah selalu menjadi pihak yang tertekan. Pasangan suami istri bisa mengabaikan kesenjangan status dengan penerimaan diri satu dengan yang lainnya, tetapi seringkali tekanan-tekanan datang dari anggota keluarga yang lain         
E.      Perbedaan Usia
Perbedaan usia antara suami dan istri harus dipertimbangankan. Secara natur, usia yang lebih tua memiliki potensi untuk lebih dulu mengalami berbagai gejala kemunduran kesehatan dibanding yang masih muda. Perbedaan usia yan terlalu jauh tidak akan terlalu berpengaruh pada usia pernikahan muda (di bawah lima tahun). Tetapi pada usia pernikahan madya (enam sampai duapuluh tahun) permasalahan akan mulai muncul dan berpuncak ketika memasuki usia pernikahan lanjut (duapuluh satu tahun ke atas), yaitu munculnya banyak masalah yang kompleks.
Alkitab secara eksplisit tidak menentukan siapa yang harus lebih tua usianya antara suami dan istri, tetapi bagaimana pun juga Adam diciptakan Tuhan lebih dulu dari Hawa. Sebagai kepala dan pemegang otoritas tertinggi dalam keluarga, sebaiknya suami berusia lebih tua dari istri. Tetapi di sisi lain, istri bisa berusia lebih tua dari suami dengan syarat bahwa otoritas suami sebagai kepala keluarga harus tetap dihargai dengan penundukan diri istri.

0 comments:

Post a Comment